Musisi Jalanan

Lampu merah masih menyala. Asap knalpot mengepul seperti kepulan kabut pekat. Roda-roda kendaraan berdiam tertib, hingga mengular beberapa meter ke belakang.

“Bayarannya pak,” pinta seorang pengamen kecil kepada bapak-bapak yang ada di dalam mobil sedan silver.

Rudi Setiawan. Seorang eksekutif muda hendak mengantarkan anaknya ke sekolah. Ia melirik ke arah pengamen kecil itu. Tapi, perhatiannya kembali fokus pada timer lampu merah yang sedang berhitung mundur. Seperti bom waktu yang akan meledak. Para pengendara dengan berbagai urusan di kepalanya bersiap-siap untuk ‘kabur’. Jalanan pun semakin bising oleh suara-suara klakson yang saling besahutan.

Timer menunjukkan angka 15. Sebentar lagi lampu hijau akan menyala. Warna lampu yang sudah ditunggu-tunggu. Sepertinya, timer itu memang ditugaskan untuk mengatur kesabaran para pengendara. Pak Rudi bersiap menginjak pedal gasnya.

Tapi, pengamen kecil masih diam di tempat, memegangi pintu mobilnya. Ia kembali meliriknya dan menyuruhnya pergi dengan halus. Pengamen itu tetap bertahan. Selagi recehan belum tergenggam di tangan.

Timer menunjukkan angka 7. Pak Rudi mengenyahkan tangan si pengamen kecil dari pintu mobil hingga sedikit terdorong ke belakang.

Timer telah menunjukkan angka 5. Tiba-tiba, anaknya yang duduk di jok belakang, keluar dari mobil. Ia merogoh saku di baju seragam SD-nya. Lalu memberikan uang sepuluh ribu rupiah kepada pengamen kecil yang usianya sebaya dengannya.

Tersisa 3 detik lagi, sebelum lampu hijau benar-benar menyala.

“Wooy!” Seseorang berteriak dari arah belakang.

Satpol pp yang berbadan bongsor berlari mendekat untuk menertibkan pengamen dan tuna wisma yang mangkal di sekitar lampu merah. Tanpa ancang-ancang, pengamen kecil itu langsung mengambil langkah seribu. Anak Pak Rudi yang masih di luar mobil juga kaget dan mengikuti langkah si pengamen kecil.

Lampu hijau yang ditunggu-tunggu akhirnya menyala. Para pengendara bersiap-siap, kecuali Pak Rudi.

Suara klakson mobil melengking panjang. Satu per satu kendaran melaju cepat meninggalkan lampu merah. Saling salip-menyalip. Namun, mobil Pak Rudi masih diam di tempatnya. Ia menjulurkan kepalanya keluar kaca dan berteriak kepada Satpol pp, “Pak, itu anak saya!”

Seorang sopir angkot di belakang mobilnya geram. Lalu, meneriakinya untuk segera maju. Dengan ragu, ia menginjak pedal gasnya.

Satpol pp tidak menghiraukan teriakannya, karena suaranya terdistorsi oleh lengkingan bunyi klakson.

Pak Rudi melajukan mobilnya dengan cepat, melesat, mengejar Satpol pp yang sedang mengejar anaknya. Mereka pun saling kejar-kejaran di jalan. Persis seperti salah satu adegan dalam film James Bond.

Pengejarannya belum usai. Pengamen kecil dan anaknya Pak Rudi berlari terengah-engah. Mereka masuk ke dalam gang kecil. Menelusuri jalan-jalan sempit agar jejaknya sulit ditemukan oleh Satpol pp.

Satpol pp yang mulai kelelahan, masih belum menyerah. Ia juga masuk ke dalam gang, mengikuti pergerakan kaki-kaki mereka yang lincah.

Pengamen itu berhenti, lalu bertiarap; masuk ke bawah pagar kayu yang berlubang. Anak Pak Rudi itu mengikutinya. Mereka pun melepas lelah dan bersembunyi di sana. Sementara, Satpol pp yang bertubuh bongsor itu gagal menemukan jejak mereka. Untunglah, kali ini mereka berdua berhasil selamat.

Mereka duduk bersandar ke pagar kayu. Sekarang, hanya terdengar suara deru napas yang menggebu-gebu dari kedua anak itu. Mereka pun menghela napas panjang.

“Kenapa ikut-kutan lari?” tanya pengamen kecil itu.

“Tadi seru juga.”

“Hah? Seru apanya? Jantung gua malah hampir copot.”

“Menurutku seru. Jarang sekali bisa lari-larian seperti tadi. Soalnya, aku lebih sering duduk di kelas memperhatikan pelajaran.”

“Lah, ada-ada aja. Nama lu siapa?”

“Aku Rafi. Kamu siapa?”

“Gua biasa dipanggil James sama temen-temen. Nama asli gua sih Jajang Ahmed Saeful.”

“Hahaha. Apa yang harus kita lakukan sekarang, James?”

“Kita harus bersembunyi di sini sampai situasinya benar-benar aman.”

“Hmm … baiklah.”

Keduanya sibuk mengatur napas mereka yang belum stabil.

Oh iya, permainan gitarmu bagus. Mau ajari aku gak?”

“Ini ukulele, bukan gitar. Tentu aja boleh.”

James mengangkat ukulelenya. Ia menengok sebentar ke balik pagar. Barangkali Satpol pp itu masih ada di sekitar sana.

Setelah dirasa aman. James mulai menunjukkan kebolehannya bermain ukulele. Senar-senar ukulele bergetar. Alunan suaranya begitu khas. Rafi menikmati alunan lagu yang dibawakan oleh James.

Setelah memberikan contoh, ia langsung mengajari Rafi cara memainkannya. Dari mulai kunci-kunci dasar sampai lagu-lagu favorit yang biasa didendangkannya saat mengamen di jalanan. Rafi juga baru pertama kali memegang ukulele. Biasanya hanya memegang pulpen, pensil atau buku-buku pelajaran. Tapi, dalam sekejap, jarinya langsung akrab dengan senar-senar ukulele. Tidak kaku sama sekali.

Baru beberapa menit diajari, Rafi sudah lancar memainkannya. Satu-dua lagu berhasil dinyanyikan. Lagunya Bob Marley dan Alm. Mbah Surip. Meskipun alunan musiknya masih sedikit sumbang. Ia malah keasyikan bermain.

“Fi, ngomong-ngomong di dalem tas lu ada apaan?” James menunjuk ke arah tas hitam yang melekat di punggung Rafi.

“Bukan apa-apa sih. Cuma buku-buku biasa.”

“Buku apa? Gua boleh lihat gak?”

Rafi menurunkan tasnya. Ia mengeluarkan buku paket matematika, serta alat-alat tulisnya.

“Tolong ajarin gua, Fi.”

“Kamu serius mau belajar ini?”

“Serius lah. Gua malah pengen banget sekolah, Fi.”

“Hmm … aku malah jenuh terus-terusan belajar. Sekolah sampe siang. Pulang sekolah langsung les matematika sama bahasa inggris, sampe jam 6 sore. Gak ada waktu buat main sama sekali.”

Sebenarnya, Rafi lebih suka mendengarkan musik-musik reggae dan jazz ketika di dalam mobil. Perpaduan musik yang unik. Tapi ia memang menyukainya. Yang ia ingat pertama kali sebelum pergi ke sekolah bukanlah pelajaran sekolah, tetapi mendengarkan musik reggae dan jazz di mobil ayahnya sampai tiba di sekolah. Rafi memang lebih menikmati ketika berada di perjalanan, daripada ketika duduk di kelas berjam-jam. Sekalipun jalanan macet, ia tetap tenang-tenang saja. Karena ia menikmati dan merasa nyaman mendengarkan apa yang disukainya.

Rafi sering berandai-andai jika sekolahnya bisa seperti kendaraan milik ayahnya. Dimana guru-gurunya yang menjadi ‘pengemudi’ dan dia beserta teman-temannya yang menjadi ‘penumpang’. Ia menganggap bahwa pengemudi yang baik akan mengantarkan penumpangnya sampai ke tempat tujuan dengan selamat. Dan pengemudi yang hebat, bisa mengantarkan penumpangnya dengan selamat sekaligus membuat suasana di dalam kendaraan terasa nyaman dan menyenangkan. Seperti yang dilakukan ayahnya saat menyetel musik dan bernyanyi bersamanya. Sehingga, ketika turun dari kendaraan, ia tidak merasa kelelahan. Malah, akan keranjingan dan tetap betah berada di dalamnya.

Rafi memiliki impian untuk menjadi seorang musisi. Namun Pak Rudi tidak setuju. Ia ingin melihatnya menjadi seorang ahli matematika. Karena itu juga cita-citanya ketika bersekolah dulu. Ia mencoba menduplikasi cita-citanya kepada Rafi.

Rafi dengan senang hati mengajari James hitungan matematika. Dari mulai penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. James tampak serius memperhatikan. Jarinya bergerak-gerak menghitung angka. Gerakannya seperti sedang memainkan senar ukulele. Daya nalarnya ternyata cepat. Dalam sekejap ia bisa menguasai beberapa rumus-rumus dasar matematika kelas tiga SD.

“Gua mulai tertarik nih. Gimana kalau buku lu dituker sama ukulele punya gua?” tawar James.

“Boleh juga. Tapi ….”

“Hey! Kalian sedang apa?” tanya seseorang dari balik pagar.

Sial, ternyata itu Satpol pp yang tadi.

Rafi segera memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tas. James berdiri kaget.

“Ini, bawa aja tasku. Kamu langsung pergi dari sini,” ucap Rafi.

James juga menyerahkan ukulele miliknya.

“Cepat pergi!” seru Rafi.

Rafi menghampiri Satpol pp itu sambil menenteng ukulele. James pergi membawa tas Rafi. Kontan, mereka telah bertukar ilmu sekaligus bertukar tas dengan ukulele.

Rafi pasrah digeret oleh Satpol pp itu.

“Mana temanmu yang tadi?” tanya Satpol pp sambil menuntun tangan Rafi dengan sedikit memaksa.

“Pergi pak,” jawab Rafi singkat.

“Kamu gaya-gayaan pake seragam SD. Pengamen mana mungkin bisa sekolah.”

Rafi tidak berontak sama sekali. Karena dia merasa tidak bersalah. Ia nurut saja.

Pak Rudi segera keluar dari mobil sedannya.

“Pak, itu anak saya. Dia bukan pengamen.” ucap Pak Rudi kesal.

“Ah, jelas-jelas dia bawa ukulele pak.”

Satpol pp terus melanjutkan langkahnya.

“Ukulele itu bukan miliknya.”

“Ini milik saya …,” ucap Rafi memotong pembicaraan.

“Tuh, anak ini yang bilang sendiri. Ayo cepat ikut saya ke kantor!”

Satpol pp itu terus menarik tangan Rafi untuk ikut ke kantornya.

“Tapi … itu juga ayah saya.”

Satpol pp menghentikan langkahnya.

“Maksudnya gimana?” tanya Satpol pp heran.

“Tadi aku menukarkan tas milikku dengan ukulele milik James, pengamen tadi.”

“Kamu pasti bohong. Ayo cepat ikut saya.” Satpol pp itu terus memaksa.

“Dia memang anak saya. Ini buktinya,” kata Pak Rudi sambil menunjukkan foto keluarga dari dompetnya.

Satpol pp terdiam memperhatikan foto itu. Mulutnya tidak berkomentar sama sekali. Hanya menggaruk-garuk kepalanya. Lalu perlahan melepaskan cengkeraman tangannya. Dan, ia pergi tanpa basa-basi. Hanya meninggalkan senyum tipis ditambah wajah yang memerah.

Selang beberapa saat, James berlari sambil menggendong tas, menghampiri Rafi dan ayahnya.

Tas itu memang pantas dikenakannya. Namun Sayang, ia tidak mendapatkan kesempatan untuk bisa benar-benar duduk, dan menikmati bangku sekolahan. Trotoar jalan baginya sudah cukup menjadi tempat duduk untuk belajar. Bukan belajar menghitung angka-angka menggunakan rumus-rumus matematika. Tapi belajar menghitung recehan demi recehan, menggunakan rumus jalanan: berjuang atau terbuang.

Rafi pulang bersama ayahnya. Membawa ukulele milik James yang akan dipelajarinya lebih dalam lagi.

James juga pulang dan berterima kasih kepada Rafi, karena sudah mau memberikan peralatan sekolahnya. Ia berjanji akan mempelajari matematika dengan serius.

-oOo-

Tujuh bulan kemudian, tahun ajaran baru dimulai. James berlari menuju gerbang sekolah. Sekolah yang sama dengan Rafi. Ini hari pertamanya masuk sekolah di kelas satu SD. Tidak ada ukulele, tidak ada uang recehan yang dibawanya. Hanya ada tas gendong yang melekat di punggungnya. Ia telah resmi diadopsi sebagai anak oleh Pak Rudi. Seluruh biaya sekolah akan ditanggung olehnya.

Beliau berniat menjadikan Rafi sebagai sarjana di bidang musik. Menjadikannya musisi jazz profesional. Dan, menyekolahkan James sampai ia mendapatkan gelar sarjana di bidang matematika. Menjadikannya ahli matematika. James yang akan menduplikasi cita-cita Pak Rudi.

Mekipun demikian, James enggan meninggalkan dunia jalanan yang telah membesarkan namanya. Ia berjanji akan mendirikan sebuah tempat belajar untuk teman-temannya, yang masih berjuang sebagai Musisi Jalanan.

Satu pemikiran pada “Musisi Jalanan

Tinggalkan Jejak